Halaman Aktif

Selamat Datang

Belajar Perlindungan Tanaman adalah blog baru yang sedang dibuat untuk mendukung mahasiswa Faperta Undana mempelajari mata kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Pada saat ini blog belum selesai dikerjakan sehingga hanya menyedaiakan fitur layanan secara terbatas. Silahkan kunjungi blog lama untuk memperoleh informasi mengenai fitur layanan yang akan diberikan melalui blog baru ini. Bila Anda adalah mahasiswa peserta mata kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman semester genap Tahun Ajaran 2018/2019, Anda wajib membaca materi sebelum mengikuti kuliah dan menyampaikan komentar dan/atau pertanyaan singkat di dalam kotak komentar di bawah setiap tulisan. Baca tanggal tenggat penyampaian komentar di bagian bawah setiap materi kuliah.

Pemberitahuan

Diberitahukan bahwa pada Jumat, 8 Maret 2019, dosen Ir. I Wayan Mudita, M.Sc., Ph.D. tidak dapat hadir memberikan kuliah tatap muka karena bertugas ke luar kota. Kuliah dengan materi 2.3. Berbagai Jenis OPT Golongan Gulma, Tumbuhan Parasitik, dan Tumbuhan Invasif akan diberikan oleh dosen Ibu Ethin Namas, SP, MSi. Mahasiswa diminta mengikuti perkuliahan dan menyampaikan komentar dan/atau pertanyaan mengenai materi kuliah selambat-lambatnya pada Jumat, 15 Maret 2019. Mahasiswa yang tidak menyampaikan komentar dan/atau pertanyaan melewakti batas waktu tersebut tidak akan memperoleh nilai softskill.

Senin, 14 November 2016

Konsep dan Perkembangan Pengendalian Hama Terpadu

Print Friendly and PDF
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM) merupakan konsep pengelolaan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Di Indonesia istilah PHT diartikan sebagai Pengendalian Hama Terpadu, tetapi sebenarnya jika dilihat dari sejarah pengembangan konsep, IPM atau Pengelolaan Hama Terpadu merupakan peningkatan dari konsep Integrated Pest Control (IPC) atau Pengendalian Hama Terpadu. Konsep PHT muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Dunia menginginkan pendekatan dan teknologi pengendalian hama baru yang tidak tergantung pada penggunaan pestisida.

Keberadaan populasi hama tanaman di pertanaman selalu dianggap merugikan sehingga manusia berusaha membunuh hama dengan cara apapun. Awalnya dilakukan secara sederhana, yaitu secara fisisk dan mekanik menggunakan alat sederhana seperti alat pemukul. Tetapi, semakin luasnya daerah pertanian menyebabkan cara-cara sederhana tidak mampu membendung peningkatan populasi hama. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli perlindungan tanaman pun kemudian mengembangkan berbagai metode dan teknik pengendalian hama yang lebih efektif.

Sejak 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”. Berikut adalah sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:
Indonesia began the BIMAS rice intensification programme in 1968 and since then there have been great increases in their total yields and overall production -overall an increase of more than three times. Most of this was due to better irrigation, shorter duration varieties and credit support for purchasing chemical fertiliser. Along with intensification were subsidies for certain inputs such as fertilisers and pesticides. The general belief in the 1960s was that more agrochemical inputs - both fertiliser and pesticides - meant higher yields and production.  The government had funds from oil and was able to spend large sums of money on these inputs. In the year between 1976 and 1980 the subsidies for pesticides were over US$ 50 million per year and between 1981 and 1988 they exceeded US$ 150 million per year. 
BIMAS berhasil meningkatkan produksi sampai sebesar tiga kali lipat. Lonjakan produksi ini berhasil dicapai melalui intensifikasi pertanian. Ketika itu “revolusi hijau”, yang menjadi roh kebijakan intensifikasi pertanian, sedang pada puncak masa kejayaannya dan ekologi belum berkembang seperti sekarang.

Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong wereng cokelat (Nilaparvata lugens (Stål)), yang merupakan vektor penyakit tungro, mengalami ledakan populasi. Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi pada saat menjelang panen sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani untuk membeli benih, pupuk, mengairi, dan merawat tanaman, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.

Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah, dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang), bahwa terdapat laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitoid yang merusakkan telur, nimfa, dan imago wereng coklat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru, justru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran (target pest resurgence) dan ledakan hama sekunder (secondary pest outbreak). Temuan ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng coklat biotipe baru. Ledakan wereng coklat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut “boom and bust” karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng coklat biotipe baru.

Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan oleh Ida Nyoman Oka dari Deptan (sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM pada awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi lagi ledakan wereng coklat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia (dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng coklat ternama dari Jepang), mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3/1987 yang mencabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989 dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin oleh Peter Kenmore). Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS dan memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.

Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung (2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai “pengendalian hama terpadu” sebenarnya adalah “pengelolaan hama terpadu”, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi saling berkaitan. Dasar ilmiah “pengendalian hama terpadu” dikembangkan oleh para peneliti Universitas California di Berkeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut, “pengendalian hama terpadu” diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:
... applied pest control which combines and integrates biological and chemical control. Chemical control is used as necessary and in a manner which is least disruptive to biological control. Integrated control may make use of naturally occurring biological control as well as biological control effected by manipulated or induced biotic agents’. (Stern et al. 1959) 
Sementara itu, istilah “pengelolaan hama terpadu” diusulkan pertama kali sebenarnya oleh pakar ekologi Australia, P.W. Geier dan L.R. Clark, pada 1961. Istilah “pengelolaan hama terpadu” tersebut mulai mendapat lebih banyak perhatian di AS sejak publikasi artikel pada Annual Review of Entomology pada 1966, laporan National Academy of Science (NAS) pada 1969, dan prosiding konferensi di North Carolina yang menghadirkan pakar dari Australia. Istilah “pengendalian hama terpadu” sebagaimana yang sekarang digunakan, digunakan pertama kali pada 1998 oleh M. Kogan. Menurut Kogan, “pengelolaan hama terpadu” merupakan:
... a decision support sistem for the selection and use of pest control tactics, singly or harmoniously coordinated into a management strategy, based on cost/benefit analyses that take into account the interests of and impacts on producers, society, and the environment (Kogan, 1998). 
Terdapat banyak sekali definisi mengenai “pengelolaan hama terpadu”. Namun demikian, PHT sebenarnya adalah sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama. Dalam hal ini hama diartikan dalam pengertian yang luas, mencakup binatang hama, patogen, dan gulma pada hewan, ikan, dan tanaman, bahkan pada fasilitas umum dan lingkungan hidup. Dengan demikian jelas bahwa PHT bukan sekedar pemaduan satu atau lebih cara pengendalian sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perlindungan Tanaman.

PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan, melainkan sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi. Keberadaan OPT sampai padat populasi tertentu diperlukan untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal sebagai musuh alami (natural enemies). Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu, menyebabkan populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi OPT sampai pada padat populasi yang tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.

Sebagaimana didefinisikan oleh Kogan (1998), PHT sesungguhnya merupakan sistem dukungan pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan sistem dukungan pengambilan keputusan adalah berbagai cara yang dilakukan untuk menentukan apakah tindakan pengendalian sudah atau belum perlu dilakukan, apa saja yang perlu dipertimbangkan, dan bila perlu dilakukan, tindakan pengendalian apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dengan demikian, pengambilan keputusan sebenarnya merupakan bagian PHT yang paling penting. Bahkan, dapat dikatakan bahwa PHT sesungguhnya adalah perubahan pengambilan keputusan dari pengendalian dengan pestisida secara terjadwal menjadi pengendalian dengan berbagai cara pada waktu yang ditentukan dengan menggunakan pertimbangan tertentu sebagai dasar pengambilan keputusan. Pada pengendalian OPT dengan pestisida secara terjadwal, pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang tidak penting sebab pelaksanaan pengendalian telah dijadwalkan.

Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Sebagaimana dengan PHT sendiri yang berkembang dari “pengendalian hama terpadu” menjadi “pengelolaan hama terpadu”, pengambilan keputusan juga terus mengalami perkembangan. Pada awalnya, ketika PHT masih pada tahap “pengendalian hama terpadu”, pengambilan keputusan dilakukan dengan dasar ambang ekonomi (AE). AE merupakan padat populasi OPT yang perlu dikendalikan untuk mencegah menjadi semakin meningkat mencapai padat populasi yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (ambang luka ekonomis, ALE). AE sebagai dasar pengambilan keputusan ditetapkan oleh para pakar dengan menggunakan metode tertentu. Petani melakukan pemantauan agroekosistem dan mencocokkan apakah populasi OPT hasil pemantauan telah atau belum mencapai AE. Bila padat populasi hasil pemantauan telah mencapai AE maka tindakan perlindungan tanaman segera harus dilakukan. Sebaliknya bila padat populasi hasil pemantauan masih lebih rendah daripada AE maka tindakan perlindungan tanaman belum perlu dilakukan sampai diperoleh hasil dari pelaksanaan pemantauan agro-ekosistem berikutnya.

Pengambilan keputusan berdasarkan AE banyak dikritik karena sebenarnya dilakukan bukan oleh petani sendiri melainkan dengan bantuan pakar untuk terlebih dahulu menetapkan AE. Selain itu AE dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama kemampuan merusak dari hama yang dikendalikan, biaya pengendalian, dan harga hasil tanaman sehingga dengan demikian AE bersifat dinamik (senantiasa berubah). Bila harus menunggu ditetapkan oleh para pakar maka akan selalu terlambat, tetapi bila harus ditetapkan oleh petani sendiri menjadi terlalu rumit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan maka pengambilan keputusan dengan menggunakan instrumen AE semakin ditinggalkan dan digantikan dengan dasar pertimbangan yang lebih mudah dapat dilakukan oleh petani sendiri atau bila dilakukan oleh pakar maka harus dapat dilakukan dengan cepat seiring dengan dinamika OPT sendiri. Hal ini melahirkan cara pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system) dengan dukungan komputer dan dan jaringan internet.

Pengambilan keputusan berbasis petani di Indonesia sebenarnya telah dimulai ketika PHT menjadi program nasional dan dilaksanakan melalui sekolah lapang PHT (SL-PHT). Akan tetapi, perubahan tersebut tidak berlangsung dengan serta merta melainkan berlangsung beriringan dengan pengambilan keputusan berdasarkan AE. Semakin lama, setelah semakin banyak petani mengenyam SL-PHT maka pengambilan keputusan berbasis petani semakin dikedepankan dan pengambilan keputusan berdasarkan AE semakin ditinggalkan. Pengambilan keputusan berbasis petani didasarkan atas pemikiran bahwa petani adalah ahli PHT. Petani adalah orang yang paling mengerti dan paling berkepentingan akan usahataninya sehingga petanilah yang seharusnya paling bisa dan paling berhak memutuskan. Pengambilan keputusan berbasis petani tetap mempertimbangkan populasi OPT hasil pemantauan agro-ekosistem, tetapi keputusan tidak diambil dengan mencocokkan padat populasi hasil pemantauan dengan AE, melainkan dengan mempertimbangkan banyak hal yang disepakati bersama oleh anggota kelompok yang mempunyai usahatani di suatu hamparan tertentu. Dengan demikian, pengambilan keputusan berbasis petani dilakukan oleh petani secara bersama-sama, tidak bisa hanya secara individual sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa permasalahan OPT sesungguhnya adalah permasalahan perubahan keseimbangan ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan secara bersama-sama dan dalam waktu bersamaan.

Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan tambahan selain sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem. Pemantauan agro-ekosistem tetap dilakukan tetapi hasilnya tidak bersifat final sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, melainkan dimusyawarahkan untuk memperoleh keputusan bersama. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor lain, di antaranya pengalaman petani, hasil pemantauan musuh alami, biaya pelaksanaan, nilai hasil usahatani, dan sebagainya. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai bantuan cara pengambilan keputusan, di antaranya pohon keputusan (decision tree), yang semuanya telah dipelajari melalui SLPHT. Setelah diputuskan melalui musyawarah maka keputusan mengikat setiap orang yang mempunyai usahatani pada hamparan yang sama untuk melakukannya bersama-sama. Pengambilan keputusan berbasis petani mengharuskan petani mengikat diri dalam organisasi kelompok tani.

Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan. Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar juga tidak hanya didasarkan semata-mata atas populasi OPT, melainkan berdasarkan berbagai faktor yang terlebih dahulu telah dipelajari secara mendalam dan diketahui mempengaruhi terjadinya ledakan OPT. Dengan demikian, pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar tidak hanya dilakukan terhadap OPT dan musuh alaminya, tetapi juga terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor lingkungan yang lazim dipertimbangkan adalah kultivar tanaman, fase pertumbuhan tanaman, keadaan agroklimat, dan sebagainya. Pemantauan dapat dilakukan dengan melibatkan petani secara langsung maupun tidak langsung dan melaporkan hasilnya kepada sistem pakar untuk diproses secara terkomputerisasi. Hasil pemrosesan terkomputerisasi tersebut dikembalikan kepada petani untuk mengambil keputusan akhir pelaksanaannya. Di negara-negara maju, pelaporan hasil pemantauan kepada sistem pakar dan penyampaian hasil permosesan sistem pakar kepada petani dilakukan dengan dukungan internet, tetapi hal ini belum memungkinkan di negara-negara sedang berkembang.

Pengambilan keputusan dilakukan terhadap berbagai hal, di antaranya cara pengendalian yang diterapkan, saat melakukan tindakan, cara pelaksanaan, dan sebagainya. Cara pengendalian dapat berupa cara mekanik, cara fisik, cara kimiawi, cara hayati, cara genetik, cara budidaya, dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di antara cara-cara tersebut ditentukan satu atau beberapa cara untuk diterapkan secara bersamaan. Dalam pemilihan cara-cara tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir. Pemilihan sebagai alternatif terakhir tidak berarti bahwa setiap cara lain terlebih dahulu dicoba, melainkan dipertimbangkan masak-masak dan setelah melalui pertimbangan tersebut maka apabila tidak ada cara lain yang dipandang efektif barulah dapat digunakan cara kimiawi. Setelah cara pengendalian ditetapkan maka pelaksanaan pengendalian dilakukan sesuai dengan keputusan mengenai waktu pelaksanaan, apakah saat ini juga atau perlu menunggu beberapa waktu kemudian. Cara pelaksanaan bergantung pada dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan, apakah keputusan diambil berdasarkan AE, berdasarkan keputusan petani, atau berdasarkan sistem pakar. Pada pengambilan keputusan berdasarkan AE, pelaksanaan dapat dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok (bila penetapan AE dilakukan secara berkelompok), sedangkan pada pengambilan keputusan berdasarkan keputusan petani atau berdasarkan sistem pakar, pelaksanaan harus dilakukan secara berkelompok.

Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:
  1. PHT ambang ekonomi (PHT-AE), yaitu fase PHT sebagai “pengendalian hama terpadu” yang pengambilan keputusannya dilakukan untuk menentukan apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau belum dengan membandingkan padat populasi OPT hasil pemantauan dengan AE. 
  2. PHT sekolah lapang (PHT-SL), yaitu fase PHT yang diorganisasikan oleh pihak luar (pemerintah, LSM) dengan pengambilan keputusan yang dilakukan berbasis keputusan oleh petani sendiri yang telah “diberdayakan” untuk melakukan pengambilan keputusan melalui sekolah lapang. 
  3. PHT masyarakat (PHT komunitas), yaitu fase PHT yang berkembang melalui penyadaran masyarakat untuk mampu mengorganisasikan diri dalam melaksanakan PHT. Penyadaran mula-mula dapat dilakukan oleh pihak luar tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan tanaman selanjutnya dilakukan oleh masyarakat sendiri. 
Pada dua fase perkembangan PHT yang terakhir (fase 2 dan fase 3), pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar. Perkembangan fase-fase PHT tersebut sekaligus merefleksikan berbagai kekurangan PHT yang senantiasa terus disempurnakan seiring dengan perkembangan.

53 komentar:

  1. dalam PHT , AE sebagai dasar pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh para pakar dengan metode tertentu. yang ingin saya tanyaka,seperti apa metode-metode yang dimaksudkan ?

    BalasHapus
  2. PHT apa yg sekarang masih ada di Indonesia?

    BalasHapus
  3. Mohin Bapak jelaskan lebih rinci mengenai Bagaimana peran komputer dan jaringan internet dalam penentuan pengambilan keputusan berbasis sistem pakar?

    BalasHapus
  4. Pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan juga terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor lingkungan yang lazim dipertimbangkan salah satunya adalah kultivar tanaman. seperti apakah pemantauan yang dilakukan dari sisi kultivar tanaman dalam menentukan pengambilan keputusan berbasis sistem pakar?

    BalasHapus
  5. Sebagaimana penjelasan diatas pemerintah telah mengeluarkan peraturan agar petani tidak menggunakan pestisida dalam kegiatan budidaya tanaman, dengan alasan karena pestisida dapat membunuh musuh alami, selain itu pestisida juga akn menimbulkn efek yang tdk baik bagi manusia ketika mengkonsumsi sayuran yang terkena pestisida.
    Pada kenyataannya tanaman (dalam hal ini sayuran) yang dibudidayakan secara organik tanpa menggunakan pestisida akan kelihatan kurang hijau, dan rata2 berpenampilan kurang menarik karena berlubang akibat serangan hama. Yang ingin saya tanyakan jika kita mengkonsumsi sayuran yang telah berlubang akibat serangan hama (sayuran tanpa pestisida) apakah tidak ada dampak negatif bagi kesehatan?

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  7. Diantara pengambilan keputusan berbasis petani dan pengambilan keputusan berdasarkan sistem pakar, siapakah yang paling memberikan pengaruh ? Dan pengambilan keputusan dari siapa yang paling efektif digunakan ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kedua keputusan sangat memberikan pengaruh dan kedua-duanya efektif digunakan. hal ini dikarenakan petani yang akan mengambil keputusan telah merasakan langsung kennyataannya di lapangan dan pada sistem pakar mereka telah belajar dan meneliti, sehingga alangkah baiknya apabila akan melakukan pengendalian hama pada tanaman dilakukan secara bersama-sama oleh sistem pakar dan petani. apabila hanya satu saja (sistem pakar) kemungkinan tidak efektif karena pakar tidak mengetahui secara langsung dan pasti keadaan di lapangan dan sebaliknya.

      Hapus
    2. Terimaksih untuk jawabannya, saya ingin menanggapi jawaban dari teman bahwa yang ingin saya tanyakan itu siapakah yang paling dominan dalam memberikan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan? sesuai dengan penjelasan teman pengambilan keputusan harus dilakukan oleh keduanya.Bagaimana cara untuk menggabungkan keputusan dari keduanya apabila adanya perbedaan pendapat atau keputusan?

      Hapus
  8. Berdasarkan pernyataan diatas. AE bersifat dinamik. bila harus menunggu ditentukan oleh pakar maka akan selalu terlambat, bila dilakukan oleh petani ini terlalu rumit sehingga hal ini melahirkan cara berbasis sistem pakar dengan dukungan komputer dan jaringan internet.
    yang ingin ditanyakan '' Bagaimana dengan petani di desa-desa yang akses internetnya terbatas, Apakah ada cara lain yang cukup efektif selain (expert sistem) untuk pengambilan keputusan berdasarkan AE'' ?

    BalasHapus
  9. Berdasarkan pernyataan diatas. AE bersifat dinamik. bila harus menunggu ditentukan oleh pakar maka akan selalu terlambat, bila dilakukan oleh petani ini terlalu rumit sehingga hal ini melahirkan cara berbasis sistem pakar dengan dukungan komputer dan jaringan internet.
    yang ingin ditanyakan '' Bagaimana dengan petani di desa-desa yang akses internetnya terbatas, Apakah ada cara lain yang cukup efektif selain (expert sistem) untuk pengambilan keputusan berdasarkan AE'' ?

    BalasHapus
  10. Waktu saya masih SMA salah satu materi diskusi kami tentang Teknik Penngendalian Hama Tanaman salah satunya adalah pengendalian hama tanaman secara Biologis,namun kurang ada penjelasannya sehingga saya bertanya tetapi pertanyaan saya itu dipending karena alasan waktu. Berhubung materi sekarang adalah tentang PHT maka saya ingin melanjutkan pertanyaan saya tersebut kepada bapak soal bagaimana sih pengendalian hama tanaman secara biologis itu ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengendalian hama tanaman secara biologis adalah pemanfaataan makluk hidup (bioefektor) untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Pengendalian hama biologis tergantung kepada konsep yang ada di dalam ekologi yaitu predasi,parasitisme,herbivor yang menjadi musih alami hama di alam. Ada tiga langkan dasar PHTB
      1.importasi,yaitu kegiatan membawa musuh alami hama dati tempat alin ke lahan pertanian untuk dilibatkan dalam pengendalian hama biologis.
      2. Augmentasi ,adalah peningkatan populasi musuh alami yang telah ada ,dengan melepaskan varietas yang telah dikendalikan sifatnya.
      3. Kenservasi,adalah pempertahankan musuh alami hama ,yang telah beradaptasi dengan baik dan sudah memiliki hubungan predasi yang tetap sehingga mempertahankanya akan lebih mudah . Penambahan fasillitas sepetri,pagar hidup,kolam,kompos,pemecah angin,mulsa dan sebagainya dapat membantu mempertahankan populsi.

      Hapus
  11. Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan.
    Siapakah/Lembaga apakah yang mengoperasiakan sistem pakar? dan apakah perannya dalam pengambilan keputusan?

    BalasHapus
  12. apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menyadarkan petani dalam penerapan PHT /

    BalasHapus
  13. Pada awalnya ketika PHT masih pada tahap Pengendalian Hama Terpadu, pengambilan keputusan dilakukan dengan dasar Ambang Ekonomi. Bagaimana cara menentukannya? Tolong Bapak jelaskan!

    BalasHapus
  14. bagaimana cara membandingkan padatnya populasi OPT dengan hasil pemantauan ambang ekonomi dalam pengambilan keputusan aplikasi pestisida ?

    BalasHapus
  15. Maria Valentina Bagho Wea16 November 2016 pukul 20.08

    Cara pengendalian dalam pengambilan keputusan berupa:cara mekanik,cara fisik,cara kimiawi,cara hayati,cara genetik,cara budidaya,dan cara lain yang sesuai dengan IPTEK.
    Yang ingin saya tanyakan;penggunaan cara manakah yang paling baik untuk melakukan pengendalian hama namun yang bersifat ramah lingkungan artinya yang tidak mencemari lingkungan? Dan ada pula dalam materi menyatakan bahwa cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir apabila cara-cara yang lain telah dilakukan,tetapi dengan syarat lain perlu dicoba apabila efektif baru dilakukan, yang mau saya tanya disini kenapa dalam perundang-undangan memilih cara kimiawi sebagai alternatif terakhir, kenapa bukan cara yang lain? Mohon penjelasan bapak.

    BalasHapus
  16. Seperti yang telah di jelaskan oleh bapak mengenai PHT ( pengendalian hama terpadu ) dengan menggunakan Cara pengendalian dapat berupa cara mekanik yaang menggunakan pestisida yang mana di katakan akan menambah hama wereng , oleh karena itu pertanyaan saya kira-kira zat apa yang terkandung dalam pestisida sehingga ketika di semprot pada hama, hama tersebut menjadi kebal dan menjadi bertambah banyak akan tetapi saat menyeprot pada musuh alami maka musuh alami akan mati ?

    BalasHapus
  17. Konsep pht (pengendalian hama terpadu) muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Yang ingin saya tanyakan, mengapa para petani masih menggunakan pestisida secara berlebihan sampai sekarang ? Tolong bapak jelaskan.

    BalasHapus
  18. Dalam PHT,pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar. Yang ingin saya tanyakan apa yang dimaksud dengan pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar? Mohon penjelasan bapak

    BalasHapus
  19. dari materi yang sudah saya baca dan saya pahami di atas, saya kurang mengerti tentang adanya cara pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system) dengan dukungan komputer dan dan jaringan internet, apakah dalam AE tersebut ada perbedaan metode ataupun teori yang di permasalahkan oleh petani atau pakar ataukah hal lain yang memicu pembagian tersebut??

    BalasHapus
  20. jika pengambilan keputusan berbasis pakar semakin ditinggalkan dan lebih mengarah pada keputusan berbasis petani, lalu sejauh ini apakah keputusan berbasis pakar tidak digunakan lagi ?

    BalasHapus
  21. pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan dengan melalui proses yang kompleks.
    yang ingin saya tanyakan faktor apa saja yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam PHT?

    BalasHapus
  22. Dalam pernyataan diatas, kegiatan BIMAS dapat meningkatkan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul, tetapi pada artikel juga menjelaskan bahwa salah satu pendorong peningkatan hama wereng coklat adalah penggunaan bibit atau varietas unggul. mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bagaimana cara mengurangi intensitas hama wereng yang menyerang varietas unggul tersebut?

    BalasHapus
  23. Di era sekarang , meskipun sudah ada konsep PHT akan tetapi para petani masih menggunakan pestisida secara berlebihan , misalnya di daerah tarus . Menurut penelitian bahwa para petani menggunakan pestisida yang berlebihan pada tanaman yang akan diperjualkan . Sedangkan untuk dikonsumsi sendiri petani menggunakan pestisida secara teratur . Bagaimana tanggapan bapak mengenai hal tersebut ?

    BalasHapus
  24. Jelaskan beberapa prinsip dasar sehinngga pengelolaan dasar PHT bisa berkembang !?

    BalasHapus
  25. Jelaskan beberapa prinsip dasar sehinngga pengelolaan dasar PHT bisa berkembang !?

    BalasHapus
  26. Apa yang dimaksud dengan resurgensi hama sasaran (target pest resurgence) dan ledakan hama sekunder (secondary pest outbreak)? Mohon penjelasan Pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. resurgensi hama sasaran adalah peristiwa peningkatan populasi hama sasaran lebih tinggi daripada tingkat populasi sebelumnya sehingga jauh melampaui ambang ekonomi setelah diberikan pestisida tertentu. penyebabnya antara lain : 1. butiran semprot tidak mencapai jasad sasaran, seperti yang terjadi pada wereng coklat
      2. terbunuhnya musuh-musuh alami
      3. kurangnya pengaruh residu pestisida untuk membunuh nimfa atau larva yang menetas setelah penyemprotan bahkan justru bisa menimbulkan resisten hama terhadap pestisida tersebut.
      4. pengaruh fisiologis insektisida (Danea, 2016)
      sedangkan ledakan hama sekunder menurut saya adalah peristiwa meningkatnya populasi beberapa jenis hama yang sebelumnya merupakan hama yang tidak penting menjadi hama yang banyak menimbulkan kerugian sebagai akibat dari penggunaan pestisida secara terus-menerus.

      Hapus
  27. Dalam penjelasan di atas dijelaskan bahwa pemerintah melarang para petani menggunakan peptisida dengan berlebihan dalam pebudidayaan tanaman.
    Dan timbul pertanyaan saya apakah ada jenis obat selain pestisida yang yang tidak terbuat dari bahan kimia atau pestisida yang terbuat dari bahan-bahan alami(non kimia) yang dapat digunakan petani untuk membasmi hama pada tanaman?

    BalasHapus
  28. saya masih kurang paham, apa yang dimaksud dengan dasar Ambang Ekonomi (AE)?
    dan mengapa hasil pemantauan OPT harus mencapai AE barulah tindakan perlindungan tanaman dilakukan?

    BalasHapus
  29. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  30. Contoh seperti apakah pengambilan keputusan berdasarkan cara pelaksanannya?

    BalasHapus
  31. Dalam pemilihan cara-cara pendalian sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana jika cara kimiawi sebagai alternatif terakhir tidak juga efektif? Tetapi malah muncul masalah baru seperti pada kasus penggunaan pestisida untuk memerangi wereng cokelat, dapat diatasi sesaat namun kemudiam muncul wereng biotipe baru?

    BalasHapus
  32. Meskipun PHT telah diterapkan oleh petani, masih banyak teknologi PHT yang belum tersedia. Begitu pula aspek dasar perpaduan berbagai teknik pengendalian belum banyak diketahui. kira-kira hal tersebut disebabkan oleh apa pak?

    BalasHapus
  33. Terimakasi pa materinya, yang ingin saya mau tanyakan disini kira-kira langka-langka apa saja yang dilakukan pemerintah untuk mencegah para petani yang mengunakan pestizida secarah berlebihan karena secara tidak sadar mereka akan membunuh organisme yang lainya kususnya pada lahan yang mereka gunakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam mencegah agar petani tidak menggunakan pestisida secara berlebihan dengan berbagai cara salah satunya dengan melakukan penyuluhan terhadap dampak penggunaan pestisida secara berlebihan,namun kembali lagi kepada petani itu sendiri,apakah mau mendengarr dan mengikuti cara yang telah disampaikan pemerintah lewat penyuluhan atau tidak,sehingga pemerintah juga mengambil langkah tegas dengan telah mengaturnya dalam undang-undang yang dimana apabila undang-undang yang telah ditetapkan dilanggar tentunya memilki sanksi terhadap masing-masing UU yang dilanggar.Namun ketentuan Pestisida di Indonesia diatur dalam peraturan perundangan seperti :

      (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

      (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 Tentang Pengawasan Atas Pengadaan, Peredaran dan Penggunaan Pestisida;

      (3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009, Tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida; dan

      (4) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.120/5/2007, Tentang Pengawasan Pestisida.

      Hapus
  34. dari materi diatas dijelaskan bahwa Konsep PHT muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. dan tahun 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”.
    yang saya ingin tanyakan pak kenapa pemerintah masih meluncurkan program BIMAS sementara program pht muncul karena kekawatiran masyarakat terhadap pestisida.

    BalasHapus
  35. Jika kita ingin mengetahui padat poulasi hama pada suatu waktu dan tempat yang berkaitan terhadap ambang ekonomi hama tersebut maka langkah apa yang perlu kita lakukan dalam hal pengembangan PHT?
    Saya pernah membaca di sebuah bacaan mengaenai PHTdi situ mengatakan bahwa strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi.Yang ingin saya tanyakan bisakah bapa memberikan penjelasan maksud dari strategi tersebut? Terimakasi bapak.

    BalasHapus
  36. Jelaskan metode apa yang digunakan oleh para pakar dalam menetapkan AE sebagai dasar pengambilan keputisan?

    BalasHapus
  37. Pada pernyataan diatas mengatakan bahwa pada perinsipnya bahwa permasalahan opt sesungguhnya adalah permasalahan keseimbangan ekologis.Mengapa demikian?adakah alasan mendukung yang memperkuat pernyataan tersebut.

    BalasHapus
  38. Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. yang ingin saya tanyakan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pengambilanm keputusan tersebut?

    BalasHapus
  39. Pestisida merupakan bahan kimia yang sampai saat ini masih memiliki peranan dalam pengendalian hama. Jelaskan peranan tersebut!

    BalasHapus

  40. Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah.yang ingin saya tanyakan ,jelaskan faktor apa saja yang menyebabakan populasi hama –hama tersebut rendah?

    BalasHapus
  41. Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu, menyebabkan populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak.
    jika demikian apa langkah yang disarankan oleh taktik PHT yang biasa diambil oleh Petani agar OPT dapat dikurangi tanpa membasmi musuh alaminya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah mudahan tidak menjadi kecewa, ini sekedar sharing pendapat. Yang saya fahami PHT itu merupakan system yang holistik , tiap-tiap komponen di agroekosistem saling mempengaruhi. Jadi kalau ada pendapat dalam upaya mengendalikan OPT dengan menggunakan pestisida tentunya ada yang menjadi korban. Perlu dimaklumi dimana ada tanaman pasti ada OPT tapi tidak akan bisa dinampikan adanya musuh alami.pada prinsipnya PHT itu bagaimana caranya mempertahankan ekosistem ada dalam keseimbangan.

      Hapus
  42. Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Yang ingin saya tanyakan, faktor faktor apakah uang dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan dalam PHT ?

    BalasHapus
  43. Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan tambahan.
    Yang ingin saya tanyakan beragam pertimbangan tambahan seperti apa yang dapat digunakan selain sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem?

    BalasHapus
  44. Sesuai dengan prinsip bahwa permasalahan OPT sesunggunya adalah permasalahan perubahan keseimbangan ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan secara bersama sama dan dalam waktu bersamaan. apakah dengan prinsip tersebut dapat mengatasi permasalahan OPT?

    BalasHapus
  45. Dari hasil bacaan dan pemahaman saya sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa PHT akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan OPTnya. Petani sebagai pemeran utama dalam pengamibilan keputusan pun perlu diberdayakan. Apakah pembangunan pertanian sekarang ini sudah sampai pada level kemandirian petani dalam pengambilan keputusan?

    BalasHapus
  46. Petani sebagai pelaku usaha di berdayakan dalam upaya keefektifan pengambilan keputusan yang di dampingi para pakar. Sejauh pengamatan saya dan pengertian pada para pakar tertuju pada para penyuluh lapangan. Kalau memang demikian, tentunya, seperti halnya petani, penyuluh pun di berdayakan. Apakah SL-PHT juga berlaku bagi penyuluh?
    Seberapa jauh tingkat keberhasilan SL-PHT terhadap kesejahteraan petani yang di lihat dari tingkat produktifitas hasil usaha tani?

    BalasHapus

Untuk mengomentari tayangan ini, silahkan tulis dan poskan di bawah ini ...

Daftar Istilah

A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y,
Z, daftar istilah entomologi dari EartLife